Sejarah SYEIKH AL-HAJ ABDUR RAZAK AL-BUGIS AL-BUNI SYAMS AL-ARIFIN, Syeikh Akbar Tarekat Khalwatiyah Samman
Rujukan dari : http://tomarilaleng.blogspot.com/2012/12/sejarah-syeikh-al-haj-abdur-razak-al.html
PENGANTAR PENULIS
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Maros populer sebagai tempat berkembangnya beberapa tarekat mu’tabarah yang
ada di Indonesia. Turikale sebagai Ibu Kota Kabupaten Maros merupakan tempat
“bermula” dimana beberapa Tarekat masuk dan dikembangkan. Tarekat Sammaniah
atau Tarekat Khalwatiyah Samman mulai masuk dan berkembang di Kampung Pacelle,
wilayah Regenschap Turikale. Tarekat Tajul Khalwaty atau yang populer sebagai
Tarekat Khalwatiyah Yusuf juga masuk dan berkembang di wilayah Distrik Turikale, yakni di Kampung Labuang.
Tercatat bahwa Imam Turikale II, H.A.Muhammad Saleh Dg. Manappa adalah salah
seorang khalifah dari Tarekat Khalwatiyah Yusuf. Selain kedua tarekat tersebut,
Tariqatul Muhammadiyah ( Tekolabbua ) dan beberapa tarekat lainnya seperti
Tarekat Naqsabandiyah juga menjadi Tarekat yang cukup populer bagi masyarakat
Maros.
Setiap tahun pada bulan Rabiul Awal di Dusun Patte’ne Maros, bertepatan
dengan peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad
SAW, ribuan jamaah Tarekat Khalwatiyah Samman yang berasal dari berbagai daerah
di Indonesia dan dari Negara tetangga berdatangan untuk ikut merayakan haul
salah seorang “Pelanjut” Tarekat Khalwatiyah Samman yakni Syeikh Muhammad Saleh
bin Syeikh Abdullah bin Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin.
Tarekat Khalwatiyah Samman atau Tarekat Sammaniah dikenal sebagai salah
satu Tarekat Mu’tabarah yang kebetulan berpusat di Kabupaten Maros. Tarekat yang
dikenal memiliki jemaah yang jumlahnya mencapai ratusan ribu atau malah jutaan
orang ini sering menjadi perbincangan aktual dan seringkali pula menjadi obyek
para politikus untuk mendapatkan dukungan politik dari para oknum pelanjutnya
yang mengatas namakan Tarekat ini.
Sebelumnya saya memohon semoga saya tidak kualat dan durhaka dengan
menuliskan nama-nama beliau pada postingan sejarah tarekat ini dan saya juga memohon
maaf yang sebesar-besarnya kepada para pelanjut Tarekat ini bila ada yang
merasa kurang sependapat dengan apa yang saya tuliskan.
Postingan sejarah ini saya maksudkan hanya untuk meluruskan Sejarah
Tarekat Khalwatiyah Samman di Kabupaten Maros sehingga tidak timbul pembelokan
atau pengkaburan sejarah yang kerap dipaparkan oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab dan tanpa dasar pengetahuan yang jelas tentang sejarah
Tarekat Khalwatiyah Samman di Kabupaten Maros beserta Syaikh Akbarnya, yakni “Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis
Al-Buni Syams Al-Arifin” atau “I Puang MatowaE”. Dan juga untuk menghindari
timbulnya preseden negatif terhadap beberapa oknum pelanjut yang kebetulan tanpa
menyadari menggiring tarekat yang mulia ini ke hal-hal yang sangat bersifat
duniawi alias melenceng jauh dari ajaran tarekat
ini sendiri.
Terkadang kegiatan para pelanjut tarekat ini
mendapat sorotan di media cetak dengan berbagai sebutan yang keliru, ada media
yang menuliskan “Ketua” dan adapula yang menuliskan “Pimpinan Tertinggi”.
Padahal tarekat ini bukanlah organisasi yang memiliki struktur baku seperti
adanya ketua, sekretaris, bendahara dan seterusnya. Para pelanjut yang dituakan
juga bersifat “kolektif” dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama dalam
pengembangan ajaran tarekat ini.
Prosesi untuk menjadi “pangulu” para pelanjut
atau seorang pelanjut yang dituakan tidaklah mudah dan juga bukan karena faktor
keturunan. Para pelanjut harus memiliki pengetahuan agama yang dalam/luas serta
memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang ilmu tarekat ini sendiri. Dan
yang paling utama adalah seorang pelanjut telah sampai pada maqam spiritual
tertentu sehingga dapat menerima dan mengajarkan talqin zikir beserta silsilah tarekat
ini yang kemudian mempertanggung jawabkannya kelak di akhirat. Seperti pesan
Syeikh Abdullah bin Syeikh Abdur Razak, “ Aja’ mupa’gurui tawwe massikkiri’
narekko de’ mupalettu memengi ”. Pesan
Syeikh Abdullah lewat seorang khalifah yang bernama Guru Lamedde’ tersebut
menggambarkan bahwa bukan suatu hal yang mudah untuk memikul tanggung jawab
sebagai seorang pelanjut, apalagi untuk bertindak sebagai “pangulu” para
pelanjut.
Tulisan ini juga tidak saya maksudkan untuk menonjolkan alur kebangsawanan
dari Syeikh Abdur Razak, karena beliau sendiri menyembunyikan identitas alur keturunannya
dengan maksud agar para pelanjutnya tidak memiliki sikap sombong yang dapat menjadi
dinding/sekat dalam mengamalkan ajaran tarekat ini.
Saya mengambil referensi dari arsip pribadi ayahanda tercinta, almarhum
A. Burhanuddin Dg. Parani, yaitu “Kitab Merah” yang berisikan sejarah dan silsilah Kerajaan Bone,
Gowa, Luwu, Wajo dan Soppeng yang ditulis oleh Ayahanda beliau sendiri yakni Syeikh
Muhammad Zainuddin Puang
Remma’ bin Syeikh Abdur Rahman bin Syeikh Abdur Razak. Ayahanda beliau juga adalah salah seorang tokoh
pelanjut Tarekat ini dengan sebutan “ I Puang Ri Solojirang” dan juga pernah menjabat
sebagai Imam Turikale pada tahun 1943-1946 , dalam
masa pemerintahan H. A. Abd. Hamid Dg. Manessa KaraEng
Turikale VI.
Saya juga mengambil referensi dari “Buku Harian Syeikh Abdur Razak”
yang diarsipkan Pamanda tercinta, almarhum Syeikh Muhammad
Syattar Petta Tompo (dimakamkan di A’jalireng-Bone). Beliau juga adalah
seorang tokoh Pelanjut Tarekat ini dan sekaligus sebagai pelaku sejarah/penerima amanah dari
tiga tokoh Pelanjut Tarekat Khalwatiyah
Samman ( Puang TelluE ) untuk melakukan pembelaan terhadap Tarekat Khalwatiyah
Samman pada saat “Peristiwa Wanua Waru”, yakni peristiwa yang terjadi pada tahun 1958 saat para Ulama dikumpulkan oleh
gerombolan DI/TII di Hutan Wanua Waru yang terletak
di perbatasan Maros-Bone. Pada peristiwa tersebut beliau ditempatkan satu bilik
dengan almarhum “Teungku Daud Beureueh” dari Aceh dan dikondisikan berhadapan
dengan gurunya sendiri yakni Anregurutta KH. Ambo Dalle’. Dan atas ijin serta
kehendak Allah SWT, “Pledoi” beliau yang juga berjudul “Wanua Waru” dapat menjawab
semua pertanyaan dari para Ulama yang hadir mengenai Tarekat Khalwatiyah Samman.
Dengan penuh kesadaran akan kelemahan
dan keterbatasan yang saya miliki, saya berharap mudah-mudahan kupasan sejarah ini juga sedikit
dapat menyentuh aspek yang berkaitan dengan ajaran yang terdapat dalam ilmu tariqat
dan tassauf, serta dapat menambah wawasan pembaca tentang
Tarekat Sammaniah atau Khalwatiyah
Samman.
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Maros, 18 September 2012
Muhammad Riza Mappangara
TAREKAT SAMMANIAH atau TAREKAT KHALWATIYAH SAMMAN
I.
Pendahuluan
A. Umum
Sejak awal
masuknya Islam di Indonesia nuansa Tassauf sudah mewarnai kehidupan keagamaan
masyarakat. Hal ini terlihat pada aspek ritual yang di lakukan secara kontinyu
baik yang di lakukan oleh masyarakat perkotaan maupun masyarakat perdesaan
Para pedagang
Arab dan Gujarat serta Ulama yang khusus datang menyebarkan Agama Islam di Indonesia, banyak memberikan
andil yang besar dalam tradisi tarekat Tassauf dalam menyiarkan Agama Islam.
Sejumlah Tarekat yang dianut oleh masyarakat Indonesia antara lain seperti
Tarekat Qadiriyah yang dinisbahkan pada Syeikh Abdul Qadir Jaelani, Tarekat
Naksabandiyah yang di nisbahkan pada Syeikh Bahauddin Annaksyabandi, Tarekat
Alawiyah yang di nisbahkan pada Syeikh Abdullah bin Alawi, Tarekat Syattariah
yang di nisbahkan pada Syeikh Abdullah Syattar, Tarekat Khalwatiyah Samman atau
Sammaniah yang di nisbahkan pada “Gauts
Zaman Al Waly Qutbil Akwan Syeikh Muhammad Ibnu Abdul Karim Samman Al-Qadiri Al-Quraisy Al-Khalwati Al-Madani” serta beberapa Tarekat Mu’tabarah lainnya.
B. Tassauf dan Tarekat
Pada jaman
Rasulullah, tassauf adalah kenyataan tanpa nama dalam artian bahwa istilah tassauf belum dikenal,
sama dengan Fikhi dan Ushuluddin. Namun demikian perilaku tassauf telah dilakukan oleh Rasulullah seperti ber-“khalwat”
dengan bertafakkur di
gua hira dan menjalani kehidupan zuhud yang tidak mementingkan hal-hal yang
bersifat duniawi.
Hal ini kemudian
diikuti oleh para sahabat, antara lain Abu Bakar Assidiq, Ali Bin Abi Thalib,
Salman Al-Faris, Abu Dzar Al-Gifari, Husaifa Al-Yamaniy, Abu Darda dan para Tabi’in
seperti Ali Zaenal Abidin dan Hasan Al-Basri.
Memasuki abad
ketiga hijriyah, mulai timbul perhatian kongkrit dari kepada kehidupan zuhud ke tassauf. Pada fase
ini kajian tassauf di arahkan pada hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan
tingkah laku, sekaligus menandai terjadinya perkembangan moral agama. Tassauf “bukanlah
doktrin tambahan” Al-Qur’an dan As-Sunnah, tapi merupakan inplementasi bagi
kerangka Islam dalam praktik keserasian jiwa seorang hamba Allah yang beriman. Esensi tassauf sendiri secara sederhana
sesungguhnya adalah upaya meneladani ahlak dan kehidupan Rasulullah serta
bertujuan meraih pengetahuan hakiki (Ma’rifat) tentang pesan sentral Agama Islam
yakni ke-Maha Esa-an Allah (Tauhid).
Dalam kehidupan
agama, jiwa seseorang akan menjadi sempurna jika dapat menghimpun tiga pilar
yang sangat menentukan yaitu Imam, Islam dan Ikhsan. Masing-masing dapat
dicapai dengan mempelajari dan memahami serta mengamalkan ilmu-ilmu yang
membicarakan tentangnya.
“Iman” dapat dipelajari
melalui ilmu ushuluddin atau ilmu kalam atau ilmu tauhid.
“Islam” dapat dipelajari
melalui ilmu fikhi atau sering di sebut dengan ilmu syariat.
“Ikhsan” cenderung
hanya dapat dicapai dengan mempelajari dan mengamalkan ilmu tassauf.
Dengan demikian
Islam haruslah dipahami sebagai ajaran yang utuh tanpa memisahkan syariat,
tarikat, hakikat dan ma’rifat dalam suasana yang terintegral antara Iman, Islam dan Ikhsan.
Pada perkembangan
selanjutnya, para sufi (pelaku tassauf) menyusun suatu formulasi zikir, wirid
dan amalan lain yang di kenal dengan tatacara atau yang disebut dengan “kaifiat”.
Kaifiat inilah yang disusun sedemikian
rupa yang merupakan metode atau cara mendekatkan diri kepada Allah yang pada
gilirannya disusun secara melembaga sehingga disebut tarekat.
Tarekat dapat juga dimaknai dengan dua pengertian:
1.
Tarekat adalah jalan spiritual (batiniah)
yang terjal dan mendaki menuju hakikat.
2.
Tarekat dimaknai secara formal adalah
suatu lembaga bagi seorang zalik untuk melaksanakan amalan-amalan tarekat dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ilmu Tarekat disebut juga Ilmu Hati. Hati memegang peranan penting bagi manusia. Baik dan
buruknya seseorang ditentukan oleh hati sebagaimana Hadis Nabi:
...اَلاَوَاِنَّ فِى الْجَسَدِ مُدْغَةً اِذَاصَلُحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ آلآوَهِيَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada segumpal darah,
bila ia telah baik maka baiklah sekalian badan. Dan bila ia rusak, maka rusaklah sekalian badan. Dan bila ia rusak maka
binasalah sekalian badan, itulah yang dikatakan hati”.
Demikianlah pentingnya peranan hati bagi manusia, oleh sebab itu manusia wajib menjaga kesucian hatinya. Adapun yang menjadi penyebab kotornya hati manusia itu adalah disebabkan berbagai penyakit yang terdapat padanya sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah:
فِى قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ
“Di dalam hati mereka ada penyakit”. (Q.S. 2
Al-Baqarah: 10)
Dari sekian banyak penyakit yang ada di dalam hati manusia, ada beberapa penyakit hati yang paling berbahaya, di antaranya: hawa nafsu, cinta dunia, loba, tamak, rakus, pemarah, pengiri, dendam, hasad, munafiq, ria, ujub, takabbur. Jadi bila tidak diobati, maka sambungan ayat mengatakan:
فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا
“Lalu ditambah Allah penyakitnya”. (Q.S. 2
Al-Baqarah: 10)
Demikianlah bahayanya apabila manusia itu tidak segera membersihkan hatinya,
maka Allah akan terus menambah penyakitnya. Oleh sebab itu kewajiban pertama
bagi manusia adalah terlebih dahulu ia harus mensucikan hatinya sebagaimana
firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّ
“Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan
mengingat Tuhan-Nya, maka didirikannya sembanhyang”. (Q.S. 87
Al-A’la: 14-15)
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat difahami
bahwa Tarekat
sebenarnya telah ada sejak munculnya Islam, yakni tatkala Rasulullah
SAW melakukan Takhannus atau berkhalwat di Gua Hira. Apa yang
dilakukan Rasullah ini selain untuk mencari ketenangan hati dan
kebersihan jiwa juga yang terpenting adalah mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan khusyu'. Sebagaimana pula halnya para penganut
Tarekat pada Umumnya yang berusaha memaknai hidup ini dengan
berusaha semaksimal mungkin mendekatkan diri kepada Allah SWT
melalui Tarekat.
sebenarnya telah ada sejak munculnya Islam, yakni tatkala Rasulullah
SAW melakukan Takhannus atau berkhalwat di Gua Hira. Apa yang
dilakukan Rasullah ini selain untuk mencari ketenangan hati dan
kebersihan jiwa juga yang terpenting adalah mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan khusyu'. Sebagaimana pula halnya para penganut
Tarekat pada Umumnya yang berusaha memaknai hidup ini dengan
berusaha semaksimal mungkin mendekatkan diri kepada Allah SWT
melalui Tarekat.
C.
Tarekat Sammaniah ( Tarekat Khalwatiyah Samman
)
Salah satu
tarekat yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia adalah tarekat Sammaniah yang
didirikan oleh Gauts Zaman Al-Waly
Qutbil Akwan Syeikh Sayyidi Muhammad Samman Al-Qadiri Al-Quraisy Al-Khalwati Al-Madani yang lahir di Madinah pada tahun 1132 H/1718 M dan merupakan salah seorang keturunan (Ahlul bayt) Rasulullah SAW. Beliau mendirikan Zawiyah di Madinah dengan sejumlah murid yang berasal dari Indonesia, antara lain :
1.
Al-Quthb Syeikh Abdul
Samad Al-Palimbani dari Sumatera
2.
Quthb Az-Zaman Syeikh
Arsyad Al-Banjari dari Kalimantan
3.
Al-Quthb Syeikh Abdul
Wahab Al-Bugis, putra Bunga Walie, Addatuang
Sidenreng dari Sulawesi Selatan (beliau tidak kembali ke tanah Sulawesi setelah pernikahannya
dengan adik dari Al Quthb Syeikh
Arsyad Al- Banjari. Beliau
menetap dan wafat di Banjarmasin.)
4.
Al-Quthb Syeikh Abdur Rahman Al-Batawi
dari Betawi
5.
Al-Quthb Syeikh Idris Ibnu
Usman dari Nusa Tenggara
6.
Al-Quthb
Syeikh Dawud Al-Fathani
Masyaikh inilah
yang membawa dan menyebarkan Tarekat
Sammaniah ke berbagai daerah di Indonesia. Tarekat Sammaniah di Sulawesi
Selatan lebih populer dengan sebutan Tarekat Khalwatiyah Samman.
Di Palembang - Sumatera,
Tarekat Khalwatiyah Samman dibawa oleh Al-Qutb Syeikh
Abdul Samad Al-Palimbani. Beliau membaiat sejumlah tokoh masyarakat Sumatera,
antara lain Sultan Mahmud Badaruddin II
(Sultan Palembang) yang membangun sebuah Zawiah Khalwatiyah Samman di Jeddah
Arab Saudi sebagai wujud apresiasi dan keistiqamaannya dalam Tarekat
Khalwatiyah Samman dan Teungku Cik Ditiro, Panglima Perang Aceh.
Al-Qutb Syeikh
Abdul Samad Al-Palimbani menyusun suatu epos perjuangan yang bernama hikayat
perang sabil. Hikayat ini dibacakan pada pasukan
perang aceh yang dipimpin oleh Teungku
Cik Ditiro untuk membakar semangat
para pasukan Aceh ketika akan berperang melawan pasukan penjajah Belanda.
Di Kalimantan,
Tarekat Khalwatiyah Samman dibawa oleh Qutb Az-Zaman Syeikh
Arsyad Al-Banjari dan Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari.
Salah seorang keturunan Syeikh Arsyad Al-Banjari mendirikan sebuah pesantren
besar yang bernama Pesantren Darussalam di Martapura. Tiap tahun masyarakat
Martapura dan Kalimantan pada umumnya memperingati haul Syeikh Samman Al-Madani
dengan dihadiri dari berbagai lapisan masyarakat dan Tokoh Nasional.
Di Jawa Barat,
Tarekat Khalwatiyah Samman dibawa oleh Al-Qutb Syeikh
Abdul Rahman Al-Batawi. Di daerah Bogor dan Bekasi, manaqib Syeikh Samman masih
sering dibaca oleh sebahagian masyarakat betawi sebagai istigosah ataupun dalam
berbagai hajatan lain.
Di Nusa Tenggara, Tarekat Khalwatiyah Samman
dibawa oleh Al-Qutb Syeikh Idris Ibnu
Usman dan di kembangkan lebih lanjut oleh Syeikh Abdullah Al-Munir. Syeikh
Abdullah Al-Munir adalah kerabat Kesultanan Sumbawa dan Kesultanan Bone. Ibunda
Syeikh Abdullah Al Munir bernama Datuk Nelola, putri dari Sultan Sumbawa,
sedangkan ayahandanya bernama La Kasi Ponggawa
Bone, putra dari La Temmassonge Arung
Baringeng Sultan Abdul Razak Jalaluddin MatinroE ri
Mallimongang, Raja Bone XXII.
Tarekat Khalwatiyah Samman kemudian masuk
ke Sulawesi Selatan pada awal abad XIX melalui
daerah Barru yang dibawa oleh Syeikh Maulana Muhammad Fudail, putera dari Syeikh Abdullah Al-Munir.
II.
SYEIKH
AL-HAJ ABDUR RAZAK Al-BUGIS AL-BUNI SYAMS AL-ARIFIN
Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin adalah putra dari pasangan “La Mappangara Arung Sinri Tomarilaleng Pawelaiye Ri Sesso’E – Maru’ ” dan “We Kalaru Arung Palengoreng”, putri dari Baginda La Tenri Tappu Arung Timurung Sultan Ahmad Saleh Syamsuddin MatinroE ri Rompegading, Raja Bone XXIII (1775-1812) dan We Padauleng MatinroE ri Sao'Denrana Bontomanai' - Maros. Dari ayahandanya, nazab La Mappangara Arung Sinri bersambung kepada La Tobala Jennang Bone Arung Tanete Riawang (plt. Raja Bone, 1643-1660) dan dari nazab ibunya bersambung kepada Baginda La Patau Matanna Tikka Walinonoe To Tenribali MalaE Sanrang Sultan Idris Alimuddin MatinroE ri Nagauleng, Ranreng Towa Wajo, Raja Bone XVI (1696-1714) dari isterinya yang bernama St. Maemuna Dala Marusu’, putri KaraEng Marusu’ Angsakayai Binangana Marusu’.
La Mappangara Arung Sinri menjabat “Tomarilaleng”
(Menteri Dalam Negeri) Kerajaan Bone pada era pemerintahan La Mappaselling Arung Panynyili’ Sultan
Adam Nazimuddin, Raja Bone XXVI (1835-1845) dan La Parenrengi Arung Lompu Sultan
Ahmad Saleh Muhiuddin, Raja Bone XXVII (1845-1858).
La Mappangara Arung Sinri hijrah ke Maros
setelah meletakkan jabatannya sebagai “Tomarilaleng” dan mohon pamit untuk
hijrah ke Maros kepada keponakannya, La Parenrengi Raja Bone XXVI pada tahun
1849.
La Mappangara Arung Sinri wafat dan dimakamkan berdampingan
dengan kerabat dekatnya, yakni La Makkulau Arung Mampu di daerah Sesso’E,
wilayah Kecamatan Bantimurung – Maros.
Syeikh Abdur Razak juga adalah seorang Ahlul Bayt (keturunan Nabi Muhammad SAW) di
tanah bugis yang nazab ibunya bersambung kepada Syeikh Maulana
Jalaluddin bin Syeikh Yusuf Abu Mahasin Al-Makassari Tajul Khalwaty (Tuan
Tasalama’) yang nazab ibundanya bersambung
kepada Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), yang nazabnya kemudian sampai kepada Imam Alwi Ubaidillah (Hadramaut
Selatan) yang kemudian nazabnya bersambung kepada Nabi Muhammad SAW melalui
Sayyidina Husain. Dengan demikian Syeikh Abdur Razak adalah generasi ke-37
dalam ranji silsilah keluarga Nabi Besar Muhammad SAW.
Dari pemaparan di atas mengenai nazab Syeikh
Abdur Razak, maka nampak jelas bahwa Syeikh Abdur Razak adalah
seorang Ahlul Bayt serta kerabat Kerajaan
Bone, Gowa, Soppeng
dan Marusu’. “Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin” mempertegas
bahwa beliau berasal dari Tanah Bugis – Bone.
Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin berguru dan mendalami Tarekat
Khalwatiyah Samman pada Syeikh Maulana Muhammad Fudail di Barru.
Syeikh Maulana Muhammad Fudail adalah Putra dari Syeikh Abdullah Al-Munir, kerabat Kerajaan Bone dan Kerajaan Sumbawa seperti yang sudah dipaparkan di atas.
Syeikh Maulana Muhammad Fudail adalah Putra dari Syeikh Abdullah Al-Munir, kerabat Kerajaan Bone dan Kerajaan Sumbawa seperti yang sudah dipaparkan di atas.
Tercatat dalam sejarah tarekat Khalwatiyah Samman di Sulawesi Selatan bahwa Syeikh Abdur Razak menerima ajaran Tarekat Khalwatiyah Samman bersama-sama dengan I Mallingkaan Dg. Nyonri KaraEng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kala’biranna (Raja Gowa XXXIII, 1893-1895), Ishak Manggabarani Karaeng Mangepe’ (Arung Matowa Wajo), Singkerru Rukka Arung Palakka Sultan Ahmad Idris Matinroe ri Tengngana Topaccing (Raja Bone XXIX, 1860-1871), Topatarai Arung Berru, Abdul Gani Petta Nambung Arung Ta' (putra Syeikh Muhammad Fudail) dan beberapa bangsawan tinggi lainnya.
Dalam hal tassauf, Syeikh Maulana Muhammad Fudail memberikan
kaifiat-kaifiat dzikir dan wirid dari beberapa tarekat lainnya disamping kaifiat dan wirid tarekat Khalwatiah
Samman sendiri. Setelah murid-murid Syeikh Maulana Muhammad
Fudail sudah mencapai maqam spiritual tertentu, maka Syeikh Maulana Muhammad Fudail kemudian mengijazahkan
talqin dzikir Khalwatiyah Samman kepada semua muridnya untuk diajarkan pada
keluarganya.
Sedang yang diamanahkan sebagai “Pelanjut” adalah Syeikh Abdur Razak. Proses ini terjadi saat beliau mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Beliau memasangkan jubah(khirkah) kepada Syeikh Abdur Razak sebagai simbol maqamnya disertai dengan pesan : “Siarkanlah tarekat Khalwatiyah Samman secara turun temurun oleh keturunanmu!”.
Syeikh Abdur Razak kembali ke Maros pada tanggal 10 Sya’ban 1283 H dan menetap di kampung PACELLE’ yang terletak di wilayah Regenschap Turikale (bukan Paccelekang seperti yang pernah dituliskan salah seorang jamaah Tarekat Khalwatiyah Samman yang juga seorang Legislator Sul-Sel).
Syeikh Abdur Razak dianugerahi beberapa orang anak dari istrinya yang bernama I Kamummu KaraEng Cora (cucu dari I Malluluang Dg. Manimbangi, Karaeng Tanralili Matinroe Ri Cidu') yakni Abdullah, Abdur Rahman, P. Sibo' dan seorang lagi yang wafat saat dilahirkan pada waktu beliau dan istrinya dalam perjalanan menunaikan ibadah haji.
Di Turikale, Syeikh Abdur Razak mulai mengajarkan tarekat Khalwatiyah Samman di kalangan bangsawan lokal. Tercatat murid-murid beliau antara lain : La Umma’ Dg. Manrapi (KaraEng Turikale III), I Sanrima Dg. Parukka atau Syeikh Abdul Qadir Jailani (KaraEng Turikale IV, yang juga dikenal dengan gelar anumerta “KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na), Patahuddin Dg. Parumpa (KaraEng Simbang), Abdul Wahab Dg. Mattuppu (Parengki) dan kedua putranya, yakni Abdullah dan Abdur Rahman.
a.
Syeikh
Abdur Razak “hijrah” ke Pulau Buboto – Sumbawa.
Tarekat Khalwatiyah Samman yang dibawa ke Maros oleh Syeikh Abdur Razak menunjukkan perkembangan
yang sangat pesat. Perkembangan yang demikian
pesat tersebut juga tidak terlepas dari peran dan dukungan penguasa lokal yang
ada pada saat itu, yakni KaraEng Turikale, KaraEng Simbang, Arung/Puwatta
Cenrana, KaraEng Tanralili, serta beberapa Regent dan Bangsawan lainnya yang
punya pengaruh di masing-masing wilayahnya.
Perkembangan tersebut terlihat dari peningkatan jumlah jamaah dan semakin banyak penguasa dari berbagai kerajaan di
Sulawesi Selatan yang singgah di kediaman Syeikh Abdur Razak untuk berguru dan
mendalami Tarekat Khalwatiyah Samman. Kediaman beliau yang juga berfungsi sebagai zawiyah
tersebut terletak di Kampung Pacelle’, wilayah Regentschap Turikale.
Pada masa keemasan inilah Syeikh Abdur Razak mendapat cobaan dari Allah
SWT. Pemerintah kolonial Belanda merasa sangat terusik dengan perkembangan
Tarekat Khalwatiyah Samman dan kharisma dari Syeikh Abdur Razak. Belanda kuatir
akan timbulnya kekuatan baru yang dianggap dapat menimbulkan perlawanan
terhadap pemerintah kolonial Belanda sehingga harus dicarikan solusi untuk
menghilangkan sosok pemimpin agama yang sangat karismatik dan berpengaruh di
Tanah Bugis-Makassar pada saat itu, yakni Syeikh Abdur Razak. Belanda sedapat
mungkin menghindari penggunakan cara kekerasan dengan pengerahan pasukan.
Pemerintah Kolonial Belanda berusaha mewujudkan tujuannya secara halus
untuk menghindari konsekuensi kemarahan
dari jamaahnya yang dikenal sangat fanatik. Politik busuk belanda dilakukan
dengan cara menebar fitnah yang ditujukan kepada Syeikh Abdur Razak. Sesosok
mayat seorang seniman “pagesong-gesong” diletakkan oleh orang suruhan Belanda di
halaman rumah Syeikh Abdur Razak Al-Bugis
Al-Buni Syams Al-Arifin.
Fitnah yang keji tersebut
ternyata menuai hasil. Syeikh Abdur Razak menyadari ancaman pihak Belanda
terhadap keselamatan jiwa jamaah dan keluarganya,
sehingga beliau
memutuskan untuk hijrah kembali ke tempat asal Tarekat Khalwatiyah Samman
sebelum masuk ke Barru, yakni di Sumbawa, Nusa Tenggara. Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin
bermukim selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun di Turikale sebelum hijrah ke
Sumbawa.
Pada bulan Zulkhaidah tahun 1293 H., Syeikh Abdur Razak hijrah ke Pulau
Buboto, Sumbawa - NTB bersama keluarganya dengan menumpang kapal dagang
belanda. Beliau tiba di Sumbawa pada tanggal 10 Dzulhijjah 1293 H dan kemudian
menyeberang dan bermukim di Pulau Buboto pada tanggal 14 Muharram 1294 H.
Sebelum Hijrah ke Sumbawa, Syeikh Abdur Razak terlebih dahulu memberikan izin kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani “ I Sanrima Dg. Parukka KaraEng Turikale IV” atau yang dikenal sebagai KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na untuk “mengangkat khalifah” dalam rangka pengembangan dan pembinaan Tarekat Khalwatiyah Samman secara meluas dan berkelanjutan. Dalam kapasitasnya sebagai seorang khalifah, Syeikh Abd.Qadir Jailani menjalankan fungsi keummatan dibantu oleh dua orang putranya yaitu La Palaguna Dg. Marowa’ KaraEng Mangngento’ (Karaeng Turikale V atau juga dikenal sebagai “Puang KaraEng”) dan adiknya dari lain ibu, yakni La Page Manyanderi Petta Ranreng atau yang lebih dikenal dengan sebutan “ Petta Hajji ” (Imam Turikale III).
Sebagai tindak lanjut dari amanah yg diberikan oleh Syeikh Abdur Razak, maka Syeikh Abdul Qadir Jailani mengangkat putranya La Palaguna KaraEng Mangngento atau Puang KaraEng sebagai khalifah dengan gelar Syeikh Muhammad Salahuddin.
b.
Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis
Al-Buni Syams Al-Arifin memenuhi permohonan Syeikh Abdul Qadir Jailani
“KaraEng Turikale IV” untuk kembali ke Solojirang, Ibu Kota Regenschap Turikale
– Maros.
Setelah kurang lebih 3 (tiga) tahun Syeikh Abdur Razak bermukim di Buboto
- Sumbawa, maka KaraEng Turikale MatinroE rio Masigi’na merasakan kerinduan
yang teramat dalam akan hadirnya kembali sosok Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin ditengah-tengah
ummat. KaraEng Turikale IV ini sangat mengharapkan agar Syeikh Abdur Razak
berkenan kembali ke tanah Maros dan menetap kembali di
Turikale. Dan pada saat itu timbullah niat besar beliau untuk berangkat ke Pulau Buboto untuk menjemput
Syeikh Abdur Razak.
Sebagai langkah awal, KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na melakukan persiapan dengan mendirikan rumah panggung di Solojirang-Turikale yang dilengkapi lumbung padi (kalampang) dan “Sumur” untuk kebutuhan wudhu dan minum untuk tempat tinggal Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin beserta keluargannya dengan. Setelah segalanya rampung, maka Syeikh Abdul Qadir Jailani atau I Sanrima Dg. Parukka KaraEng Turikale IV atau KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na bersiap untuk berangkat ke Pulau Buboto - Sumbawa untuk menjemput Syeikh Abdur Razak beserta keluarganya.
Sebelum berangkat ke Sumbawa, Syeikh Abdul Qadir Jailani terlebih
dahulu memberi mandat kepada putranya, Syeikh Salahuddin “La Palaguna Dg. Marowa Karaeng Turikale V”
untuk menjalankan pemerintahan sekaligus
memberikan izin kepada putranya tersebut untuk “mengangkat khalifah”. Hal ini dimaksudkan agar sepeninggal
Beliau ke Sumbawa, Pemerintahan tetap berjalan dan Tarekat Khalwatiyah Samman
tetap berkembang sesuai amanah Syeikh Abdur Razak Al-Bugis
Al-Buni Syams Al-Arifin sebelum hijrah ke Pulau Buboto-Sumbawa. Syeikh
Abdul Qadir Jailani juga sudah mempunyai kebulatan hati untuk ikut menetap di Pulau Buboto apabila Anre Gurunya, Syeikh
Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin enggan
kembali ke Turikale - Maros.
Setelah KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na tiba di Buboto, maka dengan penuh kesabaran beliau memohon agar Syeikh Abdur Razak berkenan menerima ajakannya untuk kembali ke Solojirang Turikale. Melihat ketulusan dan kesungguhan hati KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na, maka Syeikh Abdur Razak memenuhi ajakan tersebut untuk kembali ke Turikale.
Syeikh Abdur Razak tiba kembali di Solojirang – Turikale pada tanggal
20 Dzullhijjah 1296 H dan bermukim di rumah panggung
yang telah disiapkan oleh KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na. Kediaman
beliau terletak di samping “Balla Lompoa”/Istana KaraEng Turikale. Balla’
Lompoa yang dimaksud adalah kediaman Almarhum
H. A. Mapparessa Dg. Sitaba Karaeng Turikale VII beserta keluarganya,
yang saat ini fisik bangunan telah
mengalami perubahan bentuk. Peninggalan bekas kediaman Beliau masih dapat kita
temukan pada saat ini, yaitu berupa “Sumur” yang dulunya dipergunakan sebagai
tempat wudhu dan sumber air minum. “Sumur” tersebut dibuat khusus untuk
kediaman Syaikh Abdur Razak oleh KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na seperti
yang dipaparkan sebelumnya.
Setelah bermukim selama kurang lebih “29 (dua puluh sembilan) tahun” di Solojirang-Turikale, Syeikh Abdur Razak kemudian mencari permukiman baru yang letaknya agak jauh dari keramaian. Syeikh Abdur Razak bersama-sama dengan Syeikh Abdul Qadir Jaelani dan KaraEng Simbang mengadakan peninjauan ke berbagai tempat untuk mendapatkan lokasi yang tepat sebagai permukiman. Setelah melakukan peninjauan ke beberapa lokasi, maka daerah yang bernama “Leppakkomai”-lah yang diangap paling tepat oleh Syeikh Abdur Razak. Maka pada tanggal 27 Dzulhijjah 1315 H., Syeikh Abdur Razak mendirikan rumah dan kemudian mulai menetap di Leppakkomai selama kurang lebih “5 (lima) Tahun” sampai akhir hayatnya.
Pada hari selasa tanggal 21 Muharram 1320 H., Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin “mallinrung”/wafat dalam usia 71 Tahun dan dimakamkam di Kalokko'e - Leppakkomai. Setelah wafat, Syeikh Abdur Razak disebut dengan gelar anumerta “I Puang MatowaE MallinrungE ri Leppakkomai”. Komplek “Kalokko’e” tempat beliau dimakamkan berbentuk kubah dan di dalamnya saat ini juga terdapat makam istri beliau, yakni I Kamummu’ KaraEng Cora dengan gelar anumerta “Puang Towa Cora” dan kedua putra beliau, yakni Syeikh Abdullah, dengan gelar anumerta “Puang MallebuE Mesana MallinrungE ri Leppakkomai” dan Syeikh Abdur Rahman, dengan gelar anumerta “Puang ri Bolampare’na MallinrungE ri Padaelo’-Bone”.
Comments