Sejarah SYEIKH AL-HAJ ABDUR RAZAK AL-BUGIS AL-BUNI SYAMS AL-ARIFIN, Syeikh Akbar Tarekat Khalwatiyah Samman

  Rujukan dari : http://tomarilaleng.blogspot.com/2012/12/sejarah-syeikh-al-haj-abdur-razak-al.html
 
PENGANTAR PENULIS
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Maros populer sebagai tempat berkembangnya beberapa tarekat mu’tabarah yang ada di Indonesia. Turikale sebagai Ibu Kota Kabupaten Maros merupakan tempat “bermula” dimana beberapa Tarekat masuk dan dikembangkan. Tarekat Sammaniah atau Tarekat Khalwatiyah Samman mulai masuk dan berkembang di Kampung Pacelle, wilayah Regenschap Turikale. Tarekat Tajul Khalwaty atau yang populer sebagai Tarekat Khalwatiyah Yusuf juga masuk dan berkembang di wilayah Distrik Turikale, yakni di Kampung Labuang. Tercatat bahwa Imam Turikale II, H.A.Muhammad Saleh Dg. Manappa adalah salah seorang khalifah dari Tarekat Khalwatiyah Yusuf. Selain kedua tarekat tersebut, Tariqatul Muhammadiyah ( Tekolabbua ) dan beberapa tarekat lainnya seperti Tarekat Naqsabandiyah juga menjadi Tarekat yang cukup populer bagi masyarakat Maros.
Setiap tahun pada bulan Rabiul Awal di Dusun Patte’ne Maros, bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, ribuan jamaah Tarekat Khalwatiyah Samman yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan dari Negara tetangga berdatangan untuk ikut merayakan haul salah seorang “Pelanjut” Tarekat Khalwatiyah Samman yakni Syeikh Muhammad Saleh bin Syeikh Abdullah bin Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin.
Tarekat Khalwatiyah Samman atau Tarekat Sammaniah dikenal sebagai salah satu Tarekat Mu’tabarah yang kebetulan berpusat di Kabupaten Maros. Tarekat yang dikenal memiliki jemaah yang jumlahnya mencapai ratusan ribu atau malah jutaan orang ini sering menjadi perbincangan aktual dan seringkali pula menjadi obyek para politikus untuk mendapatkan dukungan politik dari para oknum pelanjutnya yang mengatas namakan Tarekat ini.
Sebelumnya saya memohon semoga saya tidak kualat dan durhaka dengan menuliskan nama-nama beliau pada postingan sejarah tarekat ini dan saya juga memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para pelanjut Tarekat ini bila ada yang merasa kurang sependapat dengan apa yang saya tuliskan.
Postingan sejarah ini saya maksudkan hanya untuk meluruskan Sejarah Tarekat Khalwatiyah Samman di Kabupaten Maros sehingga tidak timbul pembelokan atau pengkaburan sejarah yang kerap dipaparkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan tanpa dasar pengetahuan yang jelas tentang sejarah Tarekat Khalwatiyah Samman di Kabupaten Maros beserta Syaikh Akbarnya, yakni “Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin” atau “I Puang MatowaE”. Dan juga untuk menghindari timbulnya preseden negatif terhadap beberapa oknum pelanjut yang kebetulan tanpa menyadari menggiring tarekat yang mulia ini ke hal-hal yang sangat bersifat duniawi alias melenceng jauh dari ajaran tarekat ini sendiri.
Terkadang kegiatan para pelanjut tarekat ini mendapat sorotan di media cetak dengan berbagai sebutan yang keliru, ada media yang menuliskan “Ketua” dan adapula yang menuliskan “Pimpinan Tertinggi”. Padahal tarekat ini bukanlah organisasi yang memiliki struktur baku seperti adanya ketua, sekretaris, bendahara dan seterusnya. Para pelanjut yang dituakan juga bersifat “kolektif” dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama dalam pengembangan ajaran tarekat ini.
Prosesi untuk menjadi “pangulu” para pelanjut atau seorang pelanjut yang dituakan tidaklah mudah dan juga bukan karena faktor keturunan. Para pelanjut harus memiliki pengetahuan agama yang dalam/luas serta memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang ilmu tarekat ini sendiri. Dan yang paling utama adalah seorang pelanjut telah sampai pada maqam spiritual tertentu sehingga dapat menerima dan mengajarkan talqin zikir beserta silsilah tarekat ini yang kemudian mempertanggung jawabkannya kelak di akhirat. Seperti pesan Syeikh Abdullah bin Syeikh Abdur Razak, “ Aja’ mupa’gurui tawwe massikkiri’ narekko de’ mupalettu memengi ”. Pesan  Syeikh Abdullah lewat seorang khalifah yang bernama Guru Lamedde’ tersebut menggambarkan bahwa bukan suatu hal yang mudah untuk memikul tanggung jawab sebagai seorang pelanjut, apalagi untuk bertindak sebagai “pangulu” para pelanjut.
Tulisan ini juga tidak saya maksudkan untuk menonjolkan alur kebangsawanan dari Syeikh Abdur Razak, karena beliau sendiri menyembunyikan identitas alur keturunannya dengan maksud agar para pelanjutnya tidak memiliki  sikap sombong yang dapat menjadi dinding/sekat dalam mengamalkan ajaran tarekat ini.
Saya mengambil referensi dari arsip pribadi ayahanda tercinta, almarhum A. Burhanuddin Dg. Parani, yaitu “Kitab Merah” yang berisikan sejarah dan silsilah Kerajaan Bone, Gowa, Luwu, Wajo dan Soppeng yang ditulis oleh Ayahanda beliau sendiri yakni Syeikh Muhammad Zainuddin Puang Remma’ bin Syeikh Abdur Rahman bin Syeikh Abdur Razak.  Ayahanda beliau juga adalah salah seorang tokoh pelanjut Tarekat ini dengan sebutan “ I Puang Ri Solojirang” dan juga pernah menjabat sebagai Imam Turikale pada tahun 1943-1946 , dalam masa pemerintahan H. A. Abd. Hamid Dg. Manessa KaraEng Turikale VI.  
Saya juga mengambil referensi dari “Buku Harian Syeikh Abdur Razak” yang diarsipkan Pamanda tercinta, almarhum Syeikh Muhammad Syattar Petta Tompo (dimakamkan di A’jalireng-Bone). Beliau juga adalah seorang tokoh Pelanjut Tarekat ini dan sekaligus sebagai pelaku sejarah/penerima amanah dari tiga tokoh Pelanjut Tarekat  Khalwatiyah Samman ( Puang TelluE ) untuk melakukan pembelaan terhadap Tarekat Khalwatiyah Samman pada saat “Peristiwa Wanua Waru”, yakni peristiwa yang terjadi pada tahun 1958 saat para Ulama dikumpulkan oleh gerombolan DI/TII di Hutan Wanua Waru yang terletak di perbatasan Maros-Bone. Pada peristiwa tersebut beliau ditempatkan satu bilik dengan almarhum “Teungku Daud Beureueh” dari Aceh dan dikondisikan berhadapan dengan gurunya sendiri yakni Anregurutta KH. Ambo Dalle’. Dan atas ijin serta kehendak Allah SWT, “Pledoi” beliau yang juga berjudul “Wanua Waru” dapat menjawab semua pertanyaan dari para Ulama yang hadir mengenai  Tarekat Khalwatiyah Samman.
Dengan penuh kesadaran akan kelemahan dan keterbatasan yang saya miliki, saya berharap mudah-mudahan kupasan sejarah ini juga sedikit dapat menyentuh aspek yang berkaitan dengan ajaran yang terdapat dalam ilmu tariqat dan tassauf, serta dapat menambah wawasan pembaca tentang Tarekat Sammaniah atau Khalwatiyah Samman.
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Maros, 18 September 2012
Muhammad Riza Mappangara
TAREKAT SAMMANIAH atau TAREKAT KHALWATIYAH SAMMAN
I.                    Pendahuluan

 A. Umum 

Sejak awal masuknya Islam di Indonesia nuansa Tassauf sudah mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat. Hal ini terlihat pada aspek ritual yang di lakukan secara kontinyu baik yang di lakukan oleh masyarakat perkotaan maupun masyarakat perdesaan
Para pedagang Arab dan Gujarat serta Ulama yang khusus datang menyebarkan Agama Islam di Indonesia, banyak memberikan andil yang besar dalam tradisi tarekat Tassauf dalam menyiarkan Agama Islam. Sejumlah Tarekat yang dianut oleh masyarakat Indonesia antara lain seperti Tarekat Qadiriyah yang dinisbahkan pada Syeikh Abdul Qadir Jaelani, Tarekat Naksabandiyah yang di nisbahkan pada Syeikh Bahauddin Annaksyabandi, Tarekat Alawiyah yang di nisbahkan pada Syeikh Abdullah bin Alawi, Tarekat Syattariah yang di nisbahkan pada Syeikh Abdullah Syattar, Tarekat Khalwatiyah Samman atau Sammaniah yang di nisbahkan pada Gauts Zaman Al Waly Qutbil Akwan Syeikh Muhammad Ibnu Abdul Karim Samman Al-Qadiri Al-Quraisy Al-Khalwati Al-Madani serta beberapa Tarekat Mu’tabarah lainnya.
       B. Tassauf dan Tarekat
Pada jaman Rasulullah, tassauf adalah kenyataan tanpa nama dalam artian bahwa istilah tassauf belum dikenal, sama dengan Fikhi dan Ushuluddin. Namun demikian perilaku tassauf telah dilakukan oleh Rasulullah seperti ber-“khalwat” dengan bertafakkur di gua hira dan menjalani kehidupan zuhud yang tidak mementingkan hal-hal yang bersifat duniawi.
Hal ini kemudian diikuti oleh para sahabat, antara lain Abu Bakar Assidiq, Ali Bin Abi Thalib, Salman Al-Faris, Abu Dzar Al-Gifari, Husaifa Al-Yamaniy, Abu Darda dan para Tabi’in seperti Ali Zaenal Abidin dan Hasan Al-Basri.
Memasuki abad ketiga hijriyah, mulai timbul perhatian kongkrit dari kepada kehidupan zuhud ke tassauf. Pada fase ini kajian tassauf di arahkan pada hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sekaligus menandai terjadinya perkembangan moral agama. Tassauf “bukanlah doktrin tambahan” Al-Qur’an dan As-Sunnah, tapi merupakan inplementasi bagi kerangka Islam dalam praktik keserasian jiwa seorang hamba Allah yang beriman. Esensi tassauf sendiri secara sederhana sesungguhnya adalah upaya meneladani ahlak dan kehidupan Rasulullah serta bertujuan meraih pengetahuan hakiki (Ma’rifat) tentang pesan sentral Agama Islam yakni ke-Maha Esa-an Allah (Tauhid).
Dalam kehidupan agama, jiwa seseorang akan menjadi sempurna jika dapat menghimpun tiga pilar yang sangat menentukan yaitu Imam, Islam dan Ikhsan. Masing-masing dapat dicapai dengan mempelajari dan memahami serta mengamalkan ilmu-ilmu yang membicarakan tentangnya.
“Iman” dapat dipelajari melalui ilmu ushuluddin atau ilmu kalam atau ilmu tauhid.
“Islam” dapat dipelajari melalui ilmu fikhi atau sering di sebut dengan ilmu syariat.
“Ikhsan” cenderung hanya dapat dicapai dengan mempelajari dan mengamalkan ilmu tassauf.
Dengan demikian Islam haruslah dipahami sebagai ajaran yang utuh tanpa memisahkan syariat, tarikat, hakikat dan ma’rifat dalam suasana yang terintegral antara Iman, Islam dan Ikhsan.
Pada perkembangan selanjutnya, para sufi (pelaku tassauf) menyusun suatu formulasi zikir, wirid dan amalan lain yang di kenal dengan tatacara atau yang disebut dengan “kaifiat”. Kaifiat inilah yang disusun sedemikian rupa yang merupakan metode atau cara mendekatkan diri kepada Allah yang pada gilirannya disusun secara melembaga sehingga disebut tarekat.
Tarekat dapat juga dimaknai dengan dua pengertian:
1.      Tarekat adalah jalan spiritual (batiniah) yang terjal dan mendaki menuju hakikat.
2.      Tarekat dimaknai secara formal adalah suatu lembaga bagi seorang zalik untuk melaksanakan amalan-amalan tarekat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ilmu Tarekat disebut juga Ilmu Hati.  Hati memegang peranan penting bagi manusia. Baik dan buruknya seseorang ditentukan oleh hati sebagaimana Hadis Nabi:
...اَلاَوَاِنَّ فِى الْجَسَدِ مُدْغَةً اِذَاصَلُحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ آلآوَهِيَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada segumpal darah, bila ia telah baik maka baiklah sekalian badan. Dan bila ia rusak, maka rusaklah sekalian badan. Dan bila ia rusak maka binasalah sekalian badan, itulah yang dikatakan hati”.

Demikianlah pentingnya peranan hati bagi manusia, oleh sebab itu manusia wajib menjaga kesucian hatinya. Adapun yang menjadi penyebab kotornya hati manusia itu adalah disebabkan berbagai penyakit yang terdapat padanya sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah:
فِى قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ
“Di dalam hati mereka ada penyakit”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)

Dari sekian banyak penyakit yang ada di dalam hati manusia, ada beberapa penyakit hati yang paling berbahaya, di antaranya: hawa nafsu, cinta dunia, loba, tamak, rakus, pemarah, pengiri, dendam, hasad, munafiq, ria, ujub, takabbur. Jadi bila tidak diobati, maka sambungan ayat mengatakan:
فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا
“Lalu ditambah Allah penyakitnya”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
            Demikianlah bahayanya apabila manusia itu tidak segera membersihkan hatinya, maka Allah akan terus menambah penyakitnya. Oleh sebab itu kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu ia harus mensucikan hatinya sebagaimana firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّ
“Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan mengingat Tuhan-Nya, maka didirikannya sembanhyang”. (Q.S. 87 Al-A’la: 14-15)
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat difahami bahwa Tarekat
sebenarnya telah ada sejak munculnya Islam, yakni tatkala Rasulullah
SAW melakukan Takhannus atau berkhalwat di Gua Hira. Apa yang
dilakukan Rasullah ini selain untuk mencari ketenangan hati dan
kebersihan jiwa juga yang terpenting adalah mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan khusyu'. Sebagaimana pula halnya para penganut
Tarekat pada Umumnya yang berusaha memaknai hidup ini dengan
berusaha semaksimal mungkin mendekatkan diri kepada Allah SWT
melalui Tarekat.
       C.      Tarekat Sammaniah ( Tarekat Khalwatiyah Samman )
Salah satu tarekat yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia adalah tarekat Sammaniah yang didirikan oleh Gauts Zaman Al-Waly Qutbil Akwan Syeikh Sayyidi Muhammad Samman Al-Qadiri Al-Quraisy Al-Khalwati Al-Madani yang lahir di Madinah pada tahun 1132 H/1718 M dan  merupakan salah seorang keturunan (Ahlul bayt) Rasulullah SAW. Beliau mendirikan Zawiyah di Madinah dengan sejumlah murid yang berasal dari Indonesia, antara lain :
1.      Al-Quthb Syeikh Abdul Samad Al-Palimbani dari Sumatera
2.      Quthb Az-Zaman Syeikh Arsyad Al-Banjari dari Kalimantan
3.      Al-Quthb Syeikh Abdul Wahab Al-Bugis, putra Bunga Walie, Addatuang Sidenreng dari Sulawesi Selatan (beliau tidak kembali ke tanah Sulawesi setelah pernikahannya dengan adik dari Al Quthb Syeikh Arsyad Al-  Banjari. Beliau menetap dan wafat di Banjarmasin.)
4.      Al-Quthb Syeikh Abdur Rahman Al-Batawi dari Betawi
5.      Al-Quthb Syeikh Idris Ibnu Usman dari Nusa Tenggara
6.      Al-Quthb Syeikh Dawud Al-Fathani
Masyaikh inilah yang membawa dan menyebarkan Tarekat Sammaniah ke berbagai daerah di Indonesia. Tarekat Sammaniah di Sulawesi Selatan lebih populer dengan sebutan Tarekat Khalwatiyah Samman.
Di Palembang - Sumatera, Tarekat Khalwatiyah Samman dibawa oleh Al-Qutb Syeikh Abdul Samad Al-Palimbani. Beliau membaiat sejumlah tokoh masyarakat Sumatera, antara lain  Sultan Mahmud Badaruddin II (Sultan Palembang) yang membangun sebuah Zawiah Khalwatiyah Samman di Jeddah Arab Saudi sebagai wujud apresiasi dan keistiqamaannya dalam Tarekat Khalwatiyah Samman dan Teungku Cik Ditiro, Panglima Perang Aceh.
Al-Qutb Syeikh Abdul Samad Al-Palimbani menyusun suatu epos perjuangan yang bernama hikayat perang sabil. Hikayat ini dibacakan pada pasukan perang aceh yang dipimpin oleh Teungku Cik Ditiro untuk membakar semangat para pasukan Aceh ketika akan berperang melawan pasukan penjajah Belanda.
Di Kalimantan, Tarekat Khalwatiyah Samman dibawa oleh Qutb Az-Zaman Syeikh Arsyad Al-Banjari dan Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari. Salah seorang keturunan Syeikh Arsyad Al-Banjari mendirikan sebuah pesantren besar yang bernama Pesantren Darussalam di Martapura. Tiap tahun masyarakat Martapura dan Kalimantan pada umumnya memperingati haul Syeikh Samman Al-Madani dengan dihadiri dari berbagai lapisan masyarakat dan Tokoh Nasional.
Di Jawa Barat, Tarekat Khalwatiyah Samman dibawa oleh Al-Qutb Syeikh Abdul Rahman Al-Batawi. Di daerah  Bogor dan Bekasi, manaqib Syeikh Samman masih sering dibaca oleh sebahagian masyarakat betawi sebagai istigosah ataupun dalam berbagai hajatan lain.
Di  Nusa Tenggara, Tarekat Khalwatiyah Samman dibawa oleh Al-Qutb Syeikh Idris Ibnu Usman dan di kembangkan lebih lanjut oleh Syeikh Abdullah Al-Munir. Syeikh Abdullah Al-Munir adalah kerabat Kesultanan Sumbawa dan Kesultanan Bone. Ibunda Syeikh Abdullah Al Munir bernama Datuk Nelola, putri dari Sultan Sumbawa, sedangkan ayahandanya bernama  La Kasi Ponggawa Bone, putra dari La Temmassonge Arung Baringeng Sultan Abdul Razak Jalaluddin MatinroE ri Mallimongang, Raja Bone XXII. 
Tarekat Khalwatiyah Samman kemudian masuk ke Sulawesi Selatan pada awal abad XIX melalui daerah Barru yang dibawa oleh Syeikh Maulana Muhammad Fudail, putera dari Syeikh Abdullah Al-Munir.
II.                  SYEIKH AL-HAJ ABDUR RAZAK Al-BUGIS AL-BUNI SYAMS AL-ARIFIN

Syeikh Abdur Razak
Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin adalah putra dari pasangan “La Mappangara Arung Sinri  Tomarilaleng Pawelaiye Ri Sesso’E – Maru’ ” dan We Kalaru Arung Palengoreng”, putri dari Baginda La Tenri Tappu Arung Timurung Sultan Ahmad Saleh Syamsuddin MatinroE ri Rompegading, Raja Bone XXIII (1775-1812) dan We Padauleng MatinroE ri Sao'Denrana Bontomanai' - Maros.  Dari  ayahandanya, nazab La Mappangara Arung Sinri bersambung kepada  La Tobala Jennang Bone Arung Tanete Riawang (plt. Raja Bone, 1643-1660) dan dari nazab ibunya bersambung kepada Baginda La Patau Matanna Tikka Walinonoe To Tenribali MalaE Sanrang Sultan Idris Alimuddin MatinroE ri Nagauleng, Ranreng Towa Wajo, Raja Bone XVI (1696-1714) dari isterinya yang bernama  St. Maemuna Dala Marusu’, putri KaraEng Marusu’ Angsakayai Binangana Marusu’.
La Mappangara Arung Sinri menjabat “Tomarilaleng” (Menteri Dalam Negeri) Kerajaan Bone pada era pemerintahan La Mappaselling Arung Panynyili’ Sultan Adam Nazimuddin, Raja Bone XXVI (1835-1845) dan La Parenrengi Arung Lompu Sultan Ahmad Saleh Muhiuddin, Raja Bone XXVII (1845-1858).
La Mappangara Arung Sinri hijrah ke Maros setelah meletakkan jabatannya sebagai “Tomarilaleng” dan mohon pamit untuk hijrah ke Maros kepada keponakannya, La Parenrengi Raja Bone XXVI pada tahun 1849.  
La Mappangara Arung Sinri wafat dan dimakamkan berdampingan dengan kerabat dekatnya, yakni La Makkulau Arung Mampu di daerah Sesso’E, wilayah Kecamatan Bantimurung – Maros.
Syeikh Abdur Razak juga adalah seorang Ahlul Bayt (keturunan Nabi Muhammad SAW) di tanah bugis yang nazab ibunya bersambung kepada Syeikh Maulana Jalaluddin bin Syeikh Yusuf Abu Mahasin Al-Makassari Tajul Khalwaty (Tuan Tasalama’) yang nazab ibundanya bersambung kepada Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), yang nazabnya kemudian sampai kepada Imam Alwi Ubaidillah (Hadramaut Selatan) yang kemudian nazabnya bersambung kepada Nabi Muhammad SAW melalui Sayyidina Husain. Dengan demikian Syeikh Abdur Razak adalah generasi ke-37 dalam ranji silsilah keluarga Nabi Besar Muhammad SAW.
Dari pemaparan di atas mengenai nazab Syeikh Abdur Razak, maka nampak jelas bahwa Syeikh Abdur Razak adalah seorang Ahlul Bayt serta kerabat Kerajaan Bone, Gowa, Soppeng dan  Marusu’.  “Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin” mempertegas bahwa beliau berasal dari Tanah Bugis – Bone.
Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin berguru dan mendalami Tarekat Khalwatiyah Samman pada Syeikh Maulana Muhammad Fudail di Barru.
Syeikh Maulana Muhammad Fudail adalah Putra dari Syeikh Abdullah Al
-Munir, kerabat Kerajaan Bone dan Kerajaan Sumbawa seperti yang sudah dipaparkan di atas.

Tercatat dalam sejarah tarekat Khalwatiyah Samman di Sulawesi Selatan bahwa Syeikh Abdur Razak menerima ajaran Tarekat Khalwatiyah Samman bersama-sama dengan I Mallingkaan Dg. Nyonri KaraEng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kala’biranna (Raja Gowa XXXIII
, 1893-1895), Ishak Manggabarani Karaeng Mangepe’ (Arung Matowa Wajo), Singkerru Rukka Arung Palakka Sultan Ahmad Idris Matinroe ri Tengngana Topaccing (Raja Bone XXIX, 1860-1871), Topatarai Arung Berru, Abdul Gani Petta Nambung Arung Ta' (putra Syeikh Muhammad Fudail) dan beberapa bangsawan tinggi lainnya.
Dalam hal tassauf, Syeikh Maulana Muhammad Fudail memberikan kaifiat-kaifiat dzikir dan wirid dari beberapa tarekat lainnya disamping kaifiat dan wirid tarekat Khalwatiah Samman sendiri. Setelah murid-murid Syeikh Maulana Muhammad Fudail sudah mencapai maqam spiritual tertentu, maka Syeikh Maulana Muhammad Fudail kemudian mengijazahkan talqin dzikir Khalwatiyah Samman kepada semua muridnya untuk diajarkan pada keluarganya.

Sedang yang diamanahkan sebagai “Pelanjut” adalah Syeikh Abdur Razak. Proses ini terjadi saat beliau mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Beliau memasangkan jubah(khirkah) kepada Syeikh Abdur Razak sebagai simbol maqamnya disertai dengan pesan : “Siarkanlah tarekat Khalwatiyah Samman secara turun temurun oleh keturunanmu!”.

Syeikh Abdur Razak kembali ke Maros
pada tanggal 10 Sya’ban 1283 H dan menetap di kampung PACELLE’  yang terletak di wilayah Regenschap Turikale (bukan Paccelekang seperti yang pernah dituliskan salah seorang jamaah Tarekat Khalwatiyah Samman yang juga seorang Legislator Sul-Sel).

Syeikh Abdur Razak dianugerahi beberapa orang anak dari istrinya
yang bernama  I Kamummu KaraEng Cora (cucu dari I Malluluang Dg. Manimbangi, Karaeng Tanralili Matinroe Ri Cidu') yakni Abdullah, Abdur Rahman, P. Sibo' dan seorang lagi yang wafat saat dilahirkan pada waktu beliau dan istrinya dalam perjalanan menunaikan ibadah haji.

Di Turikale, Syeikh Abdur Razak mulai mengajarkan tarekat Khalwatiyah Samman di kalangan bangsawan lokal. Tercatat murid-murid beliau antara lain : La Umma
Dg. Manrapi (KaraEng Turikale III), I Sanrima Dg. Parukka atau Syeikh Abdul Qadir Jailani (KaraEng Turikale IV, yang juga dikenal dengan gelar anumerta “KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na), Patahuddin Dg. Parumpa (KaraEng Simbang), Abdul Wahab Dg. Mattuppu (Parengki) dan kedua putranya, yakni Abdullah dan Abdur Rahman.
a.      Syeikh Abdur Razak “hijrah” ke Pulau Buboto – Sumbawa.
Tarekat Khalwatiyah Samman yang dibawa ke Maros oleh Syeikh Abdur Razak menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang demikian pesat tersebut juga tidak terlepas dari peran dan dukungan penguasa lokal yang ada pada saat itu, yakni KaraEng Turikale, KaraEng Simbang, Arung/Puwatta Cenrana, KaraEng Tanralili, serta beberapa Regent dan Bangsawan lainnya yang punya pengaruh di masing-masing wilayahnya.
Perkembangan tersebut terlihat dari peningkatan jumlah jamaah dan semakin banyak penguasa dari berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan yang singgah di kediaman Syeikh Abdur Razak untuk berguru dan mendalami Tarekat Khalwatiyah Samman. Kediaman beliau yang juga berfungsi sebagai zawiyah tersebut terletak di Kampung Pacelle’, wilayah Regentschap Turikale.
Pada masa keemasan inilah Syeikh Abdur Razak mendapat cobaan dari Allah SWT. Pemerintah kolonial Belanda merasa sangat terusik dengan perkembangan Tarekat Khalwatiyah Samman dan kharisma dari Syeikh Abdur Razak. Belanda kuatir akan timbulnya kekuatan baru yang dianggap dapat menimbulkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda sehingga harus dicarikan solusi untuk menghilangkan sosok pemimpin agama yang sangat karismatik dan berpengaruh di Tanah Bugis-Makassar pada saat itu, yakni Syeikh Abdur Razak. Belanda sedapat mungkin menghindari penggunakan cara kekerasan dengan pengerahan pasukan. Pemerintah Kolonial Belanda berusaha mewujudkan tujuannya secara halus untuk  menghindari konsekuensi kemarahan dari jamaahnya yang dikenal sangat fanatik. Politik busuk belanda dilakukan dengan cara menebar fitnah yang ditujukan kepada Syeikh Abdur Razak. Sesosok mayat seorang seniman “pagesong-gesong” diletakkan oleh orang suruhan Belanda di halaman rumah Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin.
Fitnah yang keji tersebut ternyata menuai hasil. Syeikh Abdur Razak menyadari ancaman pihak Belanda terhadap keselamatan jiwa jamaah dan keluarganya, sehingga beliau memutuskan untuk hijrah kembali ke tempat asal Tarekat Khalwatiyah Samman sebelum masuk ke Barru, yakni di Sumbawa, Nusa Tenggara. Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin bermukim selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun di Turikale sebelum hijrah ke Sumbawa.
Pada bulan Zulkhaidah tahun 1293 H., Syeikh Abdur Razak hijrah ke Pulau Buboto, Sumbawa - NTB bersama keluarganya dengan menumpang kapal dagang belanda. Beliau tiba di Sumbawa pada tanggal 10 Dzulhijjah 1293 H dan kemudian menyeberang dan bermukim di Pulau Buboto pada tanggal 14 Muharram 1294 H.

Sebelum Hijrah ke Sumbawa, Syeikh Abdur Razak terlebih dahulu memberikan izin kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani “ I Sanrima Dg. Parukka KaraEng Turikale IV” atau yang dikenal sebagai KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na untuk
mengangkat khalifah dalam rangka pengembangan dan pembinaan Tarekat Khalwatiyah Samman secara meluas dan berkelanjutan. Dalam kapasitasnya sebagai seorang khalifah, Syeikh Abd.Qadir Jailani menjalankan fungsi keummatan dibantu oleh dua orang putranya yaitu La Palaguna Dg. Marowa’ KaraEng Mangngento’ (Karaeng Turikale V atau juga dikenal sebagai “Puang KaraEng”) dan adiknya dari lain ibu, yakni La Page Manyanderi Petta Ranreng atau yang lebih dikenal dengan sebutan “ Petta Hajji ” (Imam Turikale III).
Sebagai tindak lanjut dari amanah yg diberikan oleh Syeikh Abdur Razak, maka Syeikh Abdul Qadir Jailani mengangkat putranya La Palaguna KaraEng Mangngento
atau Puang KaraEng sebagai khalifah dengan gelar Syeikh Muhammad Salahuddin.
b.      Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin memenuhi permohonan Syeikh Abdul Qadir Jailani “KaraEng Turikale IV” untuk kembali ke Solojirang, Ibu Kota Regenschap Turikale – Maros.
Setelah kurang lebih 3 (tiga) tahun Syeikh Abdur Razak bermukim di Buboto - Sumbawa, maka KaraEng Turikale MatinroE rio Masigi’na merasakan kerinduan yang teramat dalam akan hadirnya kembali sosok Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin ditengah-tengah ummat. KaraEng Turikale IV ini sangat mengharapkan agar Syeikh Abdur Razak berkenan kembali ke tanah Maros dan menetap kembali di Turikale. Dan pada saat itu timbullah niat besar beliau untuk berangkat ke Pulau Buboto untuk menjemput Syeikh Abdur Razak.

Sebagai langkah awal, KaraEng
Turikale MatinroE ri Masigi’na melakukan persiapan dengan mendirikan rumah panggung di Solojirang-Turikale yang dilengkapi lumbung padi (kalampang) dan “Sumur” untuk kebutuhan wudhu dan minum untuk tempat tinggal Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin beserta keluargannya dengan. Setelah segalanya rampung, maka Syeikh Abdul Qadir Jailani atau I Sanrima Dg. Parukka KaraEng Turikale IV atau KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na  bersiap untuk berangkat ke Pulau Buboto - Sumbawa untuk menjemput Syeikh Abdur Razak beserta keluarganya.
Sebelum berangkat ke Sumbawa, Syeikh Abdul Qadir Jailani terlebih dahulu memberi mandat kepada putranya, Syeikh Salahuddin “La Palaguna Dg. Marowa Karaeng Turikale V” untuk menjalankan pemerintahan sekaligus  memberikan izin kepada putranya tersebut untuk mengangkat khalifah. Hal ini dimaksudkan agar sepeninggal Beliau ke Sumbawa, Pemerintahan tetap berjalan dan Tarekat Khalwatiyah Samman tetap berkembang sesuai amanah Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin sebelum hijrah ke Pulau Buboto-Sumbawa. Syeikh Abdul Qadir Jailani juga sudah mempunyai kebulatan hati untuk ikut menetap di Pulau Buboto apabila Anre Gurunya, Syeikh Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin enggan kembali ke Turikale - Maros.

Setelah KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na tiba di Buboto,
maka dengan penuh kesabaran beliau memohon agar Syeikh Abdur Razak berkenan menerima ajakannya untuk kembali ke Solojirang Turikale. Melihat ketulusan dan kesungguhan hati KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na, maka Syeikh Abdur Razak memenuhi ajakan tersebut untuk kembali ke Turikale.

Syeikh Abdur Razak tiba kembali di Solojirang – Turikale pada tanggal 20 Dzullhijjah 1296 H dan bermukim di rumah panggung yang telah disiapkan oleh KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na. Kediaman beliau terletak di samping “Balla Lompoa”/Istana KaraEng Turikale. Balla’ Lompoa yang dimaksud adalah kediaman Almarhum  H. A. Mapparessa Dg. Sitaba Karaeng Turikale VII beserta keluarganya, yang saat ini fisik bangunan telah mengalami perubahan bentuk. Peninggalan bekas kediaman Beliau masih dapat kita temukan pada saat ini, yaitu berupa “Sumur” yang dulunya dipergunakan sebagai tempat wudhu dan sumber air minum. “Sumur” tersebut dibuat khusus untuk kediaman Syaikh Abdur Razak oleh KaraEng Turikale MatinroE ri Masigi’na seperti yang dipaparkan sebelumnya.

Setelah bermukim
selama kurang lebih “29 (dua puluh sembilan) tahun” di Solojirang-Turikale, Syeikh Abdur Razak kemudian mencari permukiman baru yang letaknya agak jauh dari keramaian. Syeikh Abdur Razak bersama-sama dengan Syeikh Abdul Qadir Jaelani dan KaraEng Simbang mengadakan peninjauan ke berbagai tempat untuk mendapatkan lokasi yang tepat sebagai permukiman. Setelah melakukan peninjauan ke beberapa lokasi, maka daerah yang bernama “Leppakkomai”-lah yang diangap paling tepat oleh Syeikh Abdur Razak. Maka pada tanggal 27 Dzulhijjah 1315 H., Syeikh Abdur Razak mendirikan rumah dan kemudian mulai menetap di Leppakkomai selama kurang lebih “5 (lima) Tahun” sampai akhir hayatnya.

Pada hari selasa tanggal 21 Muharram 1320 H., Syeikh Al-Haj Abdur Razak Al-Bugis Al-Buni Syams Al-Arifin “mallinrung”/wafat  dalam usia 71 Tahun dan dimakamkam di Kalokko'e - Leppakkomai.
Setelah wafat, Syeikh Abdur Razak disebut dengan gelar anumerta “I Puang MatowaE MallinrungE ri Leppakkomai”. Komplek “Kalokko’e” tempat beliau dimakamkan berbentuk kubah dan di dalamnya saat ini juga terdapat makam istri beliau, yakni I Kamummu’ KaraEng Cora dengan gelar anumerta “Puang Towa Cora” dan kedua putra beliau, yakni Syeikh Abdullah, dengan gelar anumerta “Puang MallebuE Mesana MallinrungE ri Leppakkomai” dan Syeikh Abdur Rahman, dengan gelar anumerta “Puang ri Bolampare’na MallinrungE ri Padaelo’-Bone”.

Comments

Popular posts from this blog

DJM2012_NOTA_SISTEM KAWALAN KOMPUTER

JF302 -Bab 2a

JF302 BAB 6- PLASTIK